Redaksisergap.id

PENEGAKAN HUKUM,YANG TAJAM KEBAWAH TUMPUL KEATAS

Foto : Rusdi Purnama,SP, SH.

Yang Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah

MELIHAT proses pengungkapan kasus kematian Brigadir Joshua Hutabarat, dengan 5 tersangka pembunuhan berencana dengan pasal 340 subsider 338 juncto Pasal 55 Pasal 56 KUHP dengan ancaman tertinggi hukuman mati dan minimal 20 tahun penjara. Yang paling membuat pertanyaan tentang asas equality before the law atau persamaan di depan hukum adalah tidak ditahannya Putri Chandrawati sebagai salah satu tersangka dengan alasan kesehatan, kemanusian dan masih memiliki balita.

Namun ketika dibandingkan dengan beberapa kasus ibu yang memiliki balita seperti Nita Setia Budi yang memiliki balita usia 2 tahun yang ditahan karena terjerat kasus penjualan pil pelangsing badan tak berizin dan 4 ibu di Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dilaporkan karena melempari atap pabrik tembakau UD Mawar pada 26 Desember 2020 lalu, dimana 2 terpaksa harus membawa anak balitanya ke dalam penjara, sangat mengusik karena sangat terasanya ketimpangan dalam perlakuan para penegak hukum.

Padahal jika dibandingkan dengan ancaman hukuman justru pasal yang disangkakan pada Putri Chandrawati adalah yang paling layak mengalami penahanan, karena pasal yang dikenakan dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun dan telah terbukti pernah menghilangkan atau merusak barang bukti secara bersama – sama.

Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah:

Berbagai perbandingan kasus dan perlakuan penegak hukum, membuat paradigma masyarakat beranggapan bahwa hukum, kemanusiaan dan keadilan adalah milik pejabat, apalagi dari kalangan para pejabat penegak hukum beserta keluarganya karena berbagai perlakuan istimewa yang dipertontonkan didepan publik/masyarakat

Sudah bukan rahasia umum lagi, jika banyak kasus hukum yang menjerat atau menimpa masyarakat kecil akan sangat sulit untuk mendapatkan keadilan kalau tidak viral di media sosial atau media massa.

Sejatinya negara memberikan ruang untuk penegak hukum dalam menggali hukum yang bersumber dari nilai keadilan di tengah masyarakat, pasal 5 ayat 1 UU Nomer 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman secara eksplisit menyebut kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Demikian juga UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian juga mengatur kemampuan diskresi polisi untuk menggali nilai keadilan dalam masyarakat, termasuk mengamanatkan untuk menjunjung etika kemasyarakatan berupa, sikap moral yang senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dalam menegakkan hukum, melindungi serta mengayomi, dan puncaknya melayani publik dengan mengindahkan kearifan lokal.

Karena aturan yang menjadi hukum lahir dan bermula dari tindakan sosial yang tumbuh, berkembang dan terpola menjadi acuan berperilaku dalam masyarakat, yang kemudian menjadi kesepakatan bersama yang bersifat mengikat, untuk kepatuhannya kemudian diikuti dengan sanksi atau hukuman

Disinilah diperlukan kemampuan para penegak hukum bukan hanya menguasai atau menghafal pasal demi pasal hukum formil dan materil yang menjadi kewajibannya, namun kemampuan untuk menggali nilai keadilan dan kemanusian yang hidup dalam masyarakat