JARGON tersebut yang dikemukakan pada abad yang lampau sesungguhnya merupakan cermin dari ketidak adilan yang diketahui dan dirasakan oleh kaum lemah terhadap perlakuan diskriminatif alat kekuasaan negara terutama karena pengaruh kronisme dan kolusi baik atas dasar kepentingan politik maupun oligarki.
Pengalaman sistem pemerintahan Indonesia hanya dua peristiwa terjadi terkait hal tersebut yaitu pada masa era pemerintahan Soeharto dan selama era pemerintahan Joko Widodo , itu pun terjadi di akhir masa jabatan. Dari segi objektivitas sejatinya hal yang sama juga terjadi di negara lain terutama di negara Amerika Latin dan negara Asia lainnya.
Selama sepanjang usia terbentuknya negara sekalipun jarang negara mengklaim dirinya negara demokratis, dari rakyat dan untuk rakyat, jargon sebagaimana judul tulisan ini tidak pernah (akan) dapat diwujudkan karena sejatinya bertentangan dengan karakter kekuasaan (negara) itu sendiri sebagai pemilik mandat rakyat untuk mengatur hak hidup, hak politik, dan hak hukum. Hal sama juga terjadi ketika sejak masa Aristoteles abad 5 SM menciptakan konsep tujuan hukum atau tepatnya tujuan manusia menciptakan hukum yakni kepastian dan keadilan. Dilengkapi Gisrav Radbrich dengan tujuan kemanfaatan, tujuan hukum selengkapnya, kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Tiga tujuan hukum tersebut juga tidak semudah mengucapkannya karena dalam praktik hukum tetap saja pengaruh karakter manusia terutama pemegang kekuasaan negara khususnya alat negara tidak terlepas dari intervensi kepentingan (interest) baik kepentingan politik maupun kronisme, apakah kemudian kita harus memisahkan hukum dari kekuasaan, sesuatu hal mustahil terjadi karena hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan belaka akan tetapi kekuasaan tanpa hukum sama saja dengan anarki. Intinya, hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, melainkan hanya dapat dibedakan saja.
(Penulis Pimpinan Redaksisergap.id)